Walaupun banyak masukan dan kritikan pedas, tapi kami senang dan bangga dengan kunjungan ini...
Terima kasih Banyak ya bapak dan ibu anggota dewan.....
CIMENYAN MAKALANGAN
Senin, 19 Agustus 2013
Minggu, 11 Agustus 2013
Selamat Idul Fitri
Istilah Salah Terkait Idul Fitri
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Selanjutnya kita akan membahas anggapan yang tersebar hampir di seluruh
lapisan masyarakat, Idul fitri = kembali suci.
Istilah kedua yang kesalahannya lebih parah dibandingkan istilah pertama
adalah mengartikan idul fitri dengan kembali suci. Banyak orang mengartikan ‘id
dengan makna kembali dan fitri diartikan suci.
Para khatib seringkali memberi kabar gembira kepada masyarakat yang telah
menyelesaikan ibadah selama ramadhan, bahwa pada saat idul fitri mereka telah
kembali suci, bersih dari semua dosa antara dia dengan Allah. Kemudian diikuti
dengan meminta maaf kepada sesama, tetangga kanan-kiri. Sehingga usai hari
raya, mereka layaknya bayi yang baru dilahirkan, suci dari semua dosa. Tak lupa
sang khatib akan mengkaitkan kejadian ini dengan nama hari raya ini, idul
fitri. Dia artikan ‘Kembali Suci’. Turunan dari pemaknaan ini, sebagian
masyarakat sering menyebut tanggal 1 syawal dengan ungkapan ‘hari yang fitri’.
Setidaknya ada 2 kesalahan fatal terkait ceramah khatib di atas,
Pertama, memaknai idul fitri dengan kembali suci. Dan ini kesalahan bahasa
Kedua, keyakinan bahwa ketika idul fitri, semua muslim dosanya diampuni.
Mengapa salah? Berikut rincian keterangan masing-masing;
Arti Idul Fitri secara Bahasa
Idul fitri berasal dari dua kata; id [arab: عيد] dan al-fitri [arab: الفطر].
Id secara bahasa berasal dari kata aada – ya’uudu [arab: عاد – يعود], yang
artinya kembali. Hari raya disebut ‘id karena hari raya terjadi secara
berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, pada waktu yang sama. Ibnul A’rabi
mengatakan,
سمي العِيدُ عيداً لأَنه يعود كل سنة بِفَرَحٍ مُجَدَّد
Hari raya dinamakan id karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang
baru. (Lisan Al-Arab, 3/315).
Ada juga yang mengatakan, kata id merupakan turunan kata Al-Adah [arab:
العادة], yang artinya kebiasaan. Karena masyarakat telah menjadikan kegiatan
ini menyatu dengan kebiasaan dan adat mereka. (Tanwir Al-Ainain, hlm. 5).
Selanjutnya kita akan membahas arti kata fitri.
Perlu diberi garis sangat tebal dengan warna mencolok, bahwa fitri TIDAK
sama dengan fitrah. Fitri dan fitrah adalah dua kata yang berbeda. Beda arti
dan penggunaannya. Namun, mengingat cara pengucapannya yang hampir sama, banyak
masyarakat indonesia menyangka bahwa itu dua kata yang sama. Untuk lebih
menunjukkan perbedaannnya, berikut keterangan masing-masing,
Pertama, Kata Fitrah
Kata fitrah Allah sebutkan dalam Al-Quran,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ
النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
Hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (QS. Ar-Rum: 30).
Ibnul Jauzi menjelaskan makna fitrah,
الخلقة التي خلق عليها البشر
“Kondisi awal penciptaan, dimana manusia diciptakan pada kondisi tersebut.”
(Zadul Masir, 3/422).
Dengan demikian, setiap manusia yang dilahirkan, dia dalam keadaan fitrah.
Telah mengenal Allah sebagai sesembahan yang Esa, namun kemudian mengalami
gesekan dengan lingkungannya, sehingga ada yang menganut ajaran nasrani atau
agama lain. Ringkasnya, bahwa makna fitrah adalah keadaan suci tanpa dosa dan
kesalahan.
Kedua, kata Fitri
Kata fitri berasal dari kata afthara – yufthiru [arab: أفطر – يفطر], yang
artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Disebut idul fitri, karena hari raya
ini dimeriahkan bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa
ramadhan.
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan hal ini, diantaranya
1. Hadis tentang anjuran untuk menyegerahkan berbuka,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لا يزال الدين ظاهراً، ما عجّل النّاس الفطر؛ لأنّ اليهود والنّصارى يؤخّرون
“Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam) menyegerakan
berbuka. Karena orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu berbuka.” (HR.
Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban 3509 dan statusnya hadia hasan).
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لا تزال أمَّتي على سُنَّتي ما لم تنتظر بفطرها النّجوم
“Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak
menunggu waktu berbuka dengan terbitnya bintang.” (HR. Ibn Khuzaimah dalam
Shahihnya 3/275, dan sanadnya shahih).
Kata Al-Fithr pada hadis di atas maknanya adalah berbuka, bukan suci. Makna
hadis ini menjadi aneh, jika kata Al-Fithr kita artikan suci.
“Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak
menunggu waktu berSUCI dengan terbitnya bintang”
Dan tentu saja, ini keluar dari konteks hadis.
2. Hadis tentang cara penentuan tanggal 1 ramadhan dan 1 syawal
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Hari mulai berpuasa (tanggal 1 ramadhan) adalah hari di mana kalian semua
berpuasa. Hari berbuka (hari raya 1 syawal) adalah hari di mana kalian semua
berbuka.” (HR. Turmudzi 697, Abu Daud 2324, dan dishahihkan Al-Albani).
Makna hadis di atas akan menjadi aneh, ketika kita artikan Al-Fithr dengan
suci.
“Hari suci adalah hari
dimana kalian semua bersuci”.dan semacam ini tidak ada dalam islam.
Karena itu sungguh aneh ketika fitri diartikan suci, yang sama sekali tidak
dikenal dalam bahasa arab.
Suci Seperti Bayi?
Selanjutnya kita bahas konsekuensi dari kesalahan mengartikan idul fitri.
Karena anggapan bahwa idul fitri = kembali suci, banyak orang keyakinan bahwa
ketika idul fitri, semua orang yang menjalankan puasa ramadhan, semua dosanya
diampuni dan menjadi suci.
Keyakinan semacam ini termasuk kekeliruan yang sangat fatal. Setidaknya ada
2 alasan untuk menunjukkan salahnya keyakinan ini,
Pertama, keyakinan bahwa semua orang yang menjalankan puasa ramadhan,
dosanya diampuni dan menjadi suci, sama dengan memastikan bahwa seluruh amal
puasa kaum muslimin telah diterima oleh Allah, dan menjadi kaffarah (penghapus)
terhadap semua dosa yang meraka lakukan, baik dosa besar maupun dosa kecil. Padahal
tidak ada orang yang bisa memastikan hal ini, karena tidak ada satupun makhluk
yang tahu apakah amalnya diterima oleh Allah ataukah tidak.
Terkait dengan penilaian amal, ada 2 hal yang perlu kita bedakan, antara
keabsahan amal dan diterimanya amal.
1. Keabsahan amal.
Amal yang sah artinya tidak perlu diulangi dan telah menggugurkan
kewajibannya. Manusia bisa memberikan penilaian apakah amalnya sah ataukah
tidak, berdasarkan ciri lahiriah. Selama amal itu telah memenuhi syarat, wajib,
dan rukunnya maka amal itu dianggap sah.
2. Diterimanya amal
Untuk yang kedua ini, manusia tidak bisa memastikannya dan tidak bisa
mengetahuinya. Karena murni menjadi hak Allah. Tidak semua amal yang sah
diterima oleh Allah, namun semua amal yang diterima oleh Allah, pastilah amal
yang sah.
Karena itulah, terkait diterimanya amal, kita hanya bisa berharap dan
berdoa. Memohon kepada Allah, agar amal yang kita lakukan diterima oleh-Nya.
Seperti inilah yang dilakukan orang shaleh masa silam. Mereka tidak memastikan
amalnya diterima oleh Allah, namun yang mereka lakukan adalah memohon dan
berdoa kepada Allah agar amalnya diterima.
Siapakah kita diandingkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Seusai memperbaiki
bangunan Ka’bah, beliau tidak ujub dan memastikan amalnya diterima. Namun yang
berliau lakukan adalah berdoa,
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Ya Allah, terimalah amal dari kami. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 127).
Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat dan generasi pengikut
mereka. Yang mereka lakukan adalah berdoa dan bukan memastikan.
Mu’alla bin Fadl mengatakan:
كانوا يدعون الله تعالى ستة أشهر أن يبلغهم رمضان يدعونه ستة أشهر أن يتقبل
منهم
“Dulu para sahabat, selama enam bulan sebelum datang bulan Ramadhan,
mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan.
Kemudian, selama enam bulan sesudah Ramadhan, mereka berdoa agar Allah
menerima amal mereka ketika di bulan Ramadhan.” (Lathaiful Ma›arif, Ibnu
Rajab, hal.264)
Karena itu, ketika bertemu sesama kaum muslimin seusai ramadhan, mereka
saling mendoakan,
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم
“Semoga Allah menerima amal kami dan kalian”
Inilah yang selayaknya kita tiru. Berdoa memohon kepada Allah agar amalnya
diterima dan bukan memastikan amal kita diterima.
Kedua, sesungguhnya ramadhan hanya bisa menghapuskan dosa kecil, dan bukan
dosa besar. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى
رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِر
“Antara shalat 5 waktu, jumatan ke jumatan berikutnya, ramadhan hingga
ramadhan berikutnya, akan menjadi kaffarah dosa yang dilakukan diantara amal
ibadah itu, selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Ahmad 9197 dan Muslim 233).
Kita perhatikan, ibadah besar seperti shalat lima waktu, jumatan, dan puasa
ramadhan, memang bisa menjadi kaffarah dan penebus dosa yang kita lakukan
sebelumnya. Hanya saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
syarat: ‘selama dosa-dosa besar dijauhi.’ Adanya syarat ini menunjukkan bahwa
amal ibadah yang disebutkan dalam hadis, tidak menggugurkan dosa besar dengan
sendirinya. Yang bisa digugurkan hanyalah dosa kecil.
Lantas bagaimana dosa besar bisa digugurkan?
Caranya adalah dengan bertaubat secara khusus, memohon ampun kepada Allah
atas dosa tersebut. Sebagaimana Allah telah tunjukkan hal ini dalam Al-Quran,
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ
سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang
kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (QS. An-Nisa:
31).
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembinawww.KonsultasiSyariah.com)
Langganan:
Postingan (Atom)